Jumat, 31 Oktober 2014

#pinternet internet addiction dan psikoterapi via internet



INTERNET ADDICTION

Jurnal 1

KONTROL DIRI DAN KECENDERUNGAN KECANDUAN
INTERNET
Herlina Siwi Widiana, Sofia Retnowati, Rahma Hidayat


Internet yang sering digeluti dan dipuja sebagai sebuah alat yang mampu menyediakan bebagai informasi dan hiburan serta alat canggih pembantu kesuksesan bisnis, ternyata dapat menimbulkan bahaya kecanduan (komputek, 1999a). Kecanduan internet menyerang masuk sekolah-sekolah, kantor-kantor bahkan rumahrumah (Young dalam Komputek, 1999b).
Seorang pecandu internet tidak merasa dirinya kecanduan internet bahkan tidak mau disebut pecandu internet karena tidak menyadari bahwa perilaku onlinenya berlebihan. Pecandu internet tidak dapat menghentikan keinginannya untuk online sehingga kehilangan kontrol dari penggunaan internet dan kehidupanya (Young, 1996a). Seorang pecandu internet akan menghabiskan waktu berjam-jam bahkan secara ektrem berhari-hari berada di depan computer untuk online. Melihat realitas itu, tidaklah mengherankan bila dalam penelitian yang dilakukan oleh Young (Young, 1996b) diperoleh hasil bahwa kecanduan internet sebagaimana kecanduan obat-obatan, alkohol dan judi akan mengakibatkan kegagalan akademis, menurunkan kinerja, perselisihan dalam perkawinan bahkan perceraian.

Tanda-tanda seseorang yang mengalami kecanduan internet adalah (Young, 1996b): (1)
perhatian tertuju pada internet (memikirkan aktifitas online sebelumnya atau berharap segera
online), (2)ingin menggunakan internet dalam jumlah waktu yang semakin meningkat untuk
mendapatkan kepuasan, (3) tidak dapat mengontrol, mengurangi, atau menghentikan penggunaan internet, (4) merasa gelisa, murung, tertekan atau lekas marah ketika mengurangi atau menghentikan penggunaan internet, (5) online lebih lama dari waktu yang diharapkan, (6) mempertaruhkan atau berani mengambil resiko kehilangan hubungan dengan signifikan (orang terdekat, orang tua), pekerjaan, pendidikan, kesempatan berkarir karena internet, (7) berbohong terhadap anggota keluarga, terapis atau yang lainnya untuk menyembunyikan tingkat hubungan dengan internet, (8) menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau menghilangkan dysphoric mood (perasaan tidak berdaya, rasa bersalah, cemas, depresi).

Suatu perilaku kadangkala menghasilkan konsekuensi yang positif akan tetapi juga  dimungkinkan menghasilkan konsekuensi yan negatif. Oleh karena control diri selain berupa kemampuan untuk mendapatkan konsekuensi positif juga merupakan kemampuan untuk mengatasi konsekuensi negative. Rodin (dalam sarafino, 1990) mengungkapkan control diri adlah perasaan bahwa seseorang dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif
untuk menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan. Pengunaan internet yang mempunyai kontrol diri ytang tinggi akan mampu memadu, mengarahkan dan mengatur perilaku online. Setiap individu yang mempunyai kontrol diri yang tinggi mampu menginterprestasi stimulus yang dihadapi, mempertimbangkan konsekuensinya sehingga mampu memilih tindakan dan melakukannya dengan meminimalkan akibat yang tidak diinginkan. Selain itu individu tersebut mampu mengatur penggunaan internet sehingga tidak tenggelam dalam internet, mampu menggunakan internet sesuai dengan kebutuhan, mampu memadukan aktivitas online dengan aktivitasaktivitas lain dalam kehidupannya dan tidak memerlukan internet sebagai tempat untuk melarikan diri dari masalah.

SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian adalah 70 orang mahasiswa Jurusan Teknik Elektro UGM dengan kriteria sebagai berikut : berusia 18 sampai dengan 24 tahun, mahasiswa semester III ke atas, dan berjenis kelamin laki-laki.



METODE PENELITIAN
Data penelitian diperoleh dengan menggunakan metode dokumentasi dan metode skala. Metode dokumentasi digunakan untuk mengungkapkan identitas subjek (usia, jenis kelamin, angkatan), lama menggunakan internet rata-rata penggunaan internet per minggu, lama tiapkali online, aplikasi yang sering digunakan, alasan pengunaan aplikasi tersebut, keuntungan dari penggunaan internet. Metode skala digunakan untk mengungkap kecenderungan kacanduan internet dan kontrol diri. Analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari pearson untuk menguji hubungan antara control diri dengan kecenderungan kecanduan internet. Sebelum melakukan analisis tersebut terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas. Keseluruhan komputasi data dilakukan dengan program SPSS Release 6.0.

KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara control diri dengan kecenderungan kecanduan internet sehingga dapat dikatakan semakin tinggi control diri maka semakin rendah kecendrungan kecanduan intenet dan sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi kecenderungan kecanduan internet.




Jurnal 2

Ketagihan Penggunaan Internet Di Kalangan Remaja Sekolah Tingkatan 4 Di Bandaraya Johor Bahru
Johari Hassan & Raja Shahrina Raja Abdul Rashid


Penggunaan Internet semakin meluas sehinggakan ada beberapa pihak yang mengalami ketagihan yang agak membimbangkan terutama remaja sekolah. Oleh itu, kajian ini adalah untuk mengenalpasti tahap dan punca ketagihan penggunaan Internet dikalangan remaja sekolah tingkatan 4 di bandaraya Johor Bahru. Kajian ini juga ingin mengenalpasti tujuan sebenar dan jenis penggunaan Internet yang kerap diakses oleh remaja sekolah. Kesan penggunaan Internet yang berlebihan turut juga dikenalpasti. Satu set soal selidik yang terdiri daripada tiga bahagian digunakan sebagai instrumen kajian. Kaedah pensampelan rawak digunakan dengan melibatkan 265 orang pelajar dari 3 buah sekolah terpilih. Data kajian dipersembahkan dalam bentuk deskriptif seperti frekuensi, skor min dan peratusan dengan menggunakan perisian Statistical Package For Social Science (SPSS Versi 15.0). Di samping itu, beberapa ujian statistik seperti ujian-t, korelasi Pearson, dan tabulasi silang digunakan untuk mengenalpasti perbezaan dan hubungan beberapa angkubah. Secara keseluruhannya, tahap ketagihan penggunaan Internet bagi pelajar adalah rendah. Terdapat perbezaan signifikan tahap ketagihan penggunaan Internet antara lelaki dan perempuan, begitu juga dengan jenis sekolah mengikut jantina. Terdapat juga korelasi positif antara tahap sosioekonomi ibu bapa dengan tahap ketagihan penggunaan Internet di kalangan pelajar. Laman web yang kerap diakses oleh pelajar adalah laman web rangkaian sosial.


Tujuan menggunakan internet
Dengan wujud kemudahan Internet, kanan-kanak dan remaja memperoleh banyak faedah untuk menimba ilmu di samping berkomunikasi sesama mereka di laman web sosial atau di ruang sembang. Dalam aspek pelajaran, separuh daripada bilangan pelajar (53.2%) menggunakan Internet untuk memahirkan diri dalam penggunaan komputer. Dibandingkan dengan kajian Rafidah (2010), hanya 37.5 peratus yang bersetuju bahawa mereka menggunakan Internet dengan bertujuan untuk memahirkan diri dalam komputer. Justeru, penyelidik berpendapatan, pengaruh Internet yang semakin canggih, memberikan motivasi kepada ramai pengguna termasuk pelajar untuk belajar menggunakan komputer. Internet mampu mendorong pelajar untuk belajar kendiri disamping mahir dalam penggunaan komputer. Dapatan kajian ini menyokong kajian Ahmad Johari dan Norbaizura (2010), yang mendapati penguasaan terhadap penggunaan Internet secara tidak langsung akan memahirkan seseorang itu dalam menggunakan e-pembelajaran kerana ianya mempunyai hubungkait antara satu sama lain.
Secara keseluruhannya, penggunaan Internet di kalangan pelajar dalam aspek pelajaran dan sosial adalah berada pada tahap sederhana. Majoriti pelajar menggunakan Internet untuk melepaskan tekanan dan mereka juga menggunakan Internet untuk mendapatkan hiburan disamping rajin memuat turun sesuatu. Pelajar memang memerlukan dunia hiburan untuk menenangkan fikiran tetapi ia mesti dikurangkan bagi mengelakkan pelajar terpengaruh dengan kehidupan artis-artis terutama artis-artis barat.

ANALISIS DATA
Bahagian ini adalah untuk mengukur tahap ketagihan penggunaan Internet di kalangan pelajar. Ujian ketagihan penggunaan Internet diukur dengan menggunakan soalan dari “Internet Addiction Test” yang mengandungi 20 item yang reka oleh Dr. Kimberly Young tetapi telah diubahsuai dalam Bahasa Melayu. Ujian ini dianalisis secara manual menggunakan pengiraan mata terkumpul bagi setiap responden. Justeru, kajian mendapati bilangan responden yang mempunyai tahap ketagihan yang tinggi seramai 20 orang (7.5%) iaitu 17 orang merupakan pelajar lelaki dan 3 orang pelajar perempuan (Jadual 4.10 dan Jadual 4.11). Manakala bilangan responden yang berada pada tahap ketagihan sederhana adalah seramai 79 orang (29.8%) iaitu 38 orang pelajar lelaki dan 41 orang adalah pelajar perempuan. Majoriti responden berada pada tahap ketagihan yang sedikit iaitu seramai 121 orang (45.7%) dimana 54 orang merupakan pelajar lelaki dan 67 orang merupakan pelajar perempuan. Selebihnya iaitu seramai 45 orang (17.0%) tidak mengalami sebarang ketagihan penggunaan Internet.

KESIMPULAN
Hasil dapatan ini selari dengan ujian-t yang dijalankan dalam bab 4 bahawa terdapat perbezaan yang signifikan tahap ketagihan penggunaan Internet antara pelajar lelaki dan perempuan. Selain itu, kajian ini juga mendapati terdapat perbezaan yang signifikan tahap ketagihan penggunaan Internet antara sekolah lelaki dan sekolah perempuan. Pada pendapat penyelidik, persekitaran sekolah mempengaruhi tingkah laku pelajar. Persekitaran sekolah lelaki tentu berbeza dengan persekitaran sekolah perempuan. Secara keseluruhannya, lelaki lebih ramai mengalami tahap ketagihan yang tinggi berbanding perempuan. Dapatan kajian ini adalah menyokong dengan dapatan yang dijalankan oleh Mohd Effendi (2010), bahawa pelajar lelaki mempunyai tahap ketagihan Facebook lebih tinggi berbanding pelajar perempuan.




Jurnal 3

HUBUNGAN ANTARA SELF CONTROL DENGAN      INTERNET ADDICTION PADA MAHASISWA

                                                        Sari Dewi Yuhana Ningtyas


Internet addiction merupakan fenomena yang mencemaskan dan menarik perhatian Internet telah membuat remaja kecanduan, karena menawarkan berbagai informasi, permainan, dan hiburan. Hal ini ditandai rasa senang dengan internet, durasi penggunaan internet terus meningkat, menjadi cemas dan bosan ketika harus melalui beberapa hari tanpa internet. Pecandu internet tidak dapat menghentikan keinginan untuk online sehingga kehilangan kontrol dari penggunaan internet dan kehidupannya Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat self control dan internet addiction pada mahasiswa FIP semester 5 UNNES serta hubungan antara self control dengan internet addiction pada mahasiswa FIP semester 5 UNNES.
Internet merupakan salah satu media yang sekarang ini banyak digemari oleh remaja. Internet menjadi suatu kegemaran tersendiri bagi remaja dalam mencari informasi terbaru dan menjalin hubungan dengan orang lain di beda tempat. Di zaman yang modern ini, penggunaan internet sangatlah diperlukan.
Perkembangan pengguna internet dari tahun ke tahun sangatlah tinggi. Sekarang lebihdari jutaan manusia di seluruh Indonesia telah menggunakan internet. Namun ada beberapa orang yang saat ini terkena salah satu dampak negatif dari penggunaannya. Tidak sedikit orang yang sangat bergantung pada internet sehingga individu kecanduan. Kecanduan internet bagi pelajar dapat diketahui melalui kegiatannya yang setiap hari setelah pulang sekolah atau malam hari banyak dijumpai remaja di depan komputer untuk melakukan internet. Internet telah membuat remaja kecanduan, karena di internet menawarkan berbagai fasilitas informasi, mainan, dan hiburan yang membuat remaja tidak ingin meninggalkan internet. Tanda-tanda remaja yang kecanduan internet, antara lain remaja merasa senang dengan internet, durasi penggunaan internet terus meningkat, menjadi cemas dan bosan ketika harus melalui beberapa hari tanpa internet.
Internet addiction adalah pemakaian internet secara berlebihan yang ditandai dengan gejala-gejala klinis kecanduan, seperti keasyikan dengan objek candu, pemakaian yang lebih sering terhadap objek candu, tidak memperdulikan dampak fisik maupun psikologis pemakaian dan sebagainya. Internet Addiction sebagaimana kecanduan obat-obatan, alcohol dan judi akan mengakibatkan kegagalan akademis, menurunkan kinerja, perselisihan dalam perkawinan bahkan perceraian. (Young, 1996b:20)
Pengguna internet yang mempunyai self control yang tinggi akan mampu memandu, mengarahkan dan mengatur perilaku online. Setiap individu yang mempunyai kontrol diri yang tinggi dapat mampu mengatur penggunaan internet sehingga tidak tenggelam dalam internet, mampu menggunakan internet sesuai dengan kebutuhan, mampu memadukan aktivitas online dengan aktivitas-aktivitas lain dalam kehidupannya (Herlina Siwi, 2004, 9).
Penelitian Herlina (2004) mengenai hubungan kontrol diri dengan kecenderungan kecanduan internet di Jogjakarta menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara kontrol diri dengan kecenderungan kecanduan internet. Kategori kontrol diri tergolong tinggi, sedangkan kategori kecanduan internet tergolong sedang. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar subjek penelitian menggunakan internet lebih dari satu tahun dengan lama online 4 sampai 5 jam per minggu. Selain itu internet masih merupakan alat komunikasi baru yang belum menjadi gaya hidup di Indonesia, khususnya di Jogjakarta. Internet sudah mulai banyak digunakan tetapi belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, salah satunya karena faktor biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh jasa internet.

METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES Semester 5 tahun 2010/2011 sejumlah 639 mahasiswa. Subjek penelitian ditetapkan untuk diambil 10% secara random sebagai sampel dari populasi yang berjumlah 639 mahasiswa yaitu 65 mahasiswa dengan menggunakan teknik proportional sampling.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala self control dengan aitem yang dibuat adalah 50 item dari aspek behavioral control, cognitive control, decisional control. Skala kedua yaitu skala internet addiction yang dibuat adalah 51 aitem dari aspek compulsive use, loss of control, continued use despite adverse consequences. Alternatif jawaban yang tersedia ada empat, yaitu Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data serta uraian-uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan bahwa self control terhadap internet addiction pada mahasiswa Fakulatas Ilmu Pendidikan berada pada kategori rendah, hal ini berarti mahasiswa kurang mampu mengontrol perilaku dalam bermain internet yang berlebihan (waktu yang tidak terkontrol), kurang mampu dalam mengambil keputusan atau suatu tindakan yang cukup baik terhadap internet.
Internet addiction mahasiswa FIP tergolong tinggi, hal ini berarti mahasiswa FIP mengalami kecanduan dalam berinternet, yang ditandai dengan mahasiswa selalu tertuju pada internet, kurang dapat dalam mengontrol penggunaan interenet, dan dalam penggunaan internet digunakan untuk melarikan diri dari masalah.
Uji hipotesis antara self control dengan internet addiction diterima. Hal tersebut dapat diartikan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara self control dengan internet addiction pada mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan semester 5 Universitas Negeri Semarang tahun 2010/2011.


                  




Jurnal 4

The Relationship Between Depression and Internet Addiction
Kimberly S. Young and Robert C. Rodgers

Studi sebelumnya telah mengidentifikasi adanya penggunaan internet adiktif, yang telah dikaitkan dengan gangguan sosial, psikologis, dan okupasi yang signifikan. Dalam studi ini para pecandu digunakan sebagai sampel. Penggunaan Internet rata-rata dengan durasi 38 jam per minggu untuk tujuan non akademis atau non-kerja lah yang menyebabkan efek merugikan seperti performa di antara siswa memburuk, perselisihan antara pasangan, dan kinerja kerja yang berkurang di antara karyawan. Hal ini dibandingkan dengan non-pecandu yang menggunakan internet rata-rata 8 jam per minggu tanpa konsekuensi yang signifikan dilaporkan. Terutama, kapabilitas interaktif internet seperti chat room atau game on-line terlihat menjadi yang paling adiktif. Jenis kegagalan dalam mengontrol impuls perilaku, yang tidak melibatkan suatu hal memabukkan, dipandang sebagai hal yang sangat mirip dengan pathological gambling.  Oleh karena itu, istilah formal yang digunakan dalam studi ini adalah Internet Pathological Use (PIU) yang merujuk pada kasus adiktif Penggunaan internet.
Studi di bidang addiction telah menunjukkan bahwa penyakit kejiwaan seperti depresi seringkali terkait dengan alcoholism dan kecanduan obat-obatan. Penelitian yang  lebih lanjut, telah menunjukkan bahwa perilaku adiktif lainnya saling tumpang tindih dengan depresi, misalnya, eating disorder dan pathological gambling. Meskipun konsep mengenai kecanduan internet (internet addiction) telah memperoleh kredibilitas di antara ahli kesehatan mental baik di dalam akademik maupun klinis, riset sederhana telah dilakukan untuk menguji apakah jenis penyakit psikiatrik serupa dapat memberikan kontribusi seperti Internet abuse.
 Oleh karena itu, tujuan dari studi ini adalah untuk menilai depresi dan membandingkan hasil tersebut dengan hasil lain dari populasi diagnostik rangkap. Young menggunakan Zung Depression Inventory (ZDI), yang menunjukkan bahwa peningkatan tingkat depresi berhubungan dengan tingkat PIU dari moderat sampai ke tingkat parah. Namun, ZDI menghasilkan utilitas klinis yang terbatas, oleh karena itu, penelitian ini menggunakan Beck Depression inventory (BDI) karena merupakan instrumen yang lebih psikometrik dan klinis dan berguna untuk menyelidiki lebih lanjut efek dari depresi terhadap PIU.

METODE PENELITIAN
Subjek yang dipilih merupakan subjek yang aktif menggunakan internet dan sering mengakses web yang popular, seperti Yahoo. Material diberikan ke survei on-line yang terdapat pada World Wide Web (WWW) halaman (terletak di http:/ / http://www.pitt edu /. Ksy / survey.html) dan diimplementasikan pada UNIX-based Server yang menangkap jawaban ke dalam sebuah file teks. Survei on-line mengadministrasikan kuesioner diagnostik terstruktur yang dimodifikasi oleh DSM-IV dengan kriteria pathological gambling untuk mengklasifikasikan subyek sebagai kecanduan atau non-kecanduan, dan diikuti oleh administrasi BDI, SixteeN Personality Factor Inventory, dan Zuckerman’s Sensation Seeking Scale,. Terakhir, informasi demografis juga dikumpulkan.

HASIL PENELITIAN
Dari Total 312 survei yang dikumpulkan, survey tersebut menghasilkan 259 profil yang valid dari pengguna yang mengalami kecanduan. Sampel tersebut meliputi 130 laki-laki dengan usia rata-rata 31 dan 129 perempuan dengan usia rata-rata 33. Latar belakang pendidikan mereka  adalah sebagai berikut: 30% memiliki tingkat sekolah tinggi atau kurang, 38% memiliki asosiasi atau gelar sarjana, 10% memiliki gelar master atau doktor, dan 22% masih sekolah. 15% tidak memiliki latar belakang kejuruan (misalnya, ibu rumah tangga atau pensiun), 31% adalah pelajar,  6% adalah pekerja berkerah biru dan 22% adalah pekerja berkerah putih non-tech (misalnya, guru sekolah atau pegawai bank), dan 26% adalahpekerja berkerah putih hi-tech (misalnya, ilmuwan komputer atau analis sistem).

Jenis pekerjaan tampaknya menjadi penentu dalam tingkat penggunaan internet dalam studi ini. Hasil ini menunjukkan bahwa pekerja kerah putih non-tech  atau hi-tech lebih cenderung menjadi pecandu internet daripada pekerja berkerah biru. Pekerjaan para pekerja berkerah putih dapat menawarkan akses yang lebih luas ke Internet dan potensi gaji yang lebih besar, yang membuat pembelian komputer untuk kepentingan di rumah lebih terjangkau dibandingkan di jenis pekerjaan pada pekerja kerah biru.

DISKUSI
Studi ini menunjukkan bahwa peningkatan tingkat depresi berhubungan dengan orang-orang yang menjadi kecanduan internet. Hal ini menunjukkan bahwa depresi klinis secara signifikan berhubungan dengan peningkatan tingkat penggunaan internet secara pribadi. Studi ini menunjukkan bahwa penilaian yang akurat dari depresi dan PIU dapat meningkatkan deteksi dini, terutama ketika seseorang mengalaminya dengan gejala utama dari diagnosis lainnya. Ada kemungkinan bahwa harga diri yang rendah, motivasi yang kurang, ketakutan untuk ditolak, dan kebutuhan untuk mendapatkan penerimaan terkait dengan depressives memberikan kontribusi terhadap penggunaan internet mengalami peningkatan, karena studi menunjukkan bahwa kapabilitas interaktif yang tersedia di Internet merupakan yang paling adiktif. Kiesler et al. menemukan bahwa komunikasi melalui komputer melemahkan pengaruh sosial oleh adanya perilaku nonverbal seperti berbicara di set head, berbicara dengan keras, menatap, menyentuh, dan menunjuk. Oleh karena itu, hilangnya ekspresi wajah, infleksi suara, dan kontak mata membuat komunikasi elektronik menjadi ancaman, sehingga membantu orang yang mengalami depresi untuk mengatasi kecanggungan dan intimidasi dalam awal pertemuan dan berbicara dengan orang lain.

Berdasarkan temuan yang didapatkan, hasil ini, tidak jelas menunjukkan apakah depresi yang mendahului perkembangan penyalahgunaan internet atau apakah itu merupakan konsekuensi. Ada kemungkinan bahwa peningkatan tingkat isolasi sosial setelah waktu yang berlebihan dihabiskan di depan komputer dapat mengakibatkan depresi meningkat ketimbang menjadi penyebab berlebihan Internet tersebut. Oleh karena itu, eksperimen lebih lanjut dengan tingkat analisis yang lebih komprehensif diperlukan untuk memeriksa sebab dan akibatnya. Pengumpulan data juga harus mencakup pasien dalam pengobatan untuk menghilangkan keterbatasan metodologi survei on-line dan meningkatkan utilitas klinis dari informasi yang dikumpulkan. Akhirnya, meskipun tidak jelas bagaimana PIU dibandingkan dengan kecanduan lainnya, penelitian yang akan datang harus menyelidiki apakah depresi klinis merupakan faktor etiologi dalam pengembangan setiap sindrom adiktif, baik itu alkohol, perjudian, atau Internet

Sumber : http://netaddiction.fusionxhost.com/articles/cyberpsychology.pdf                 


PSIKOTERAPI VIA INTERNET

Jurnal

PENGARUH DAN EFEKTIFITAS COGNITIVE
BEHAVIORAL THERAPY (CBT) BERBASIS KOMPUTER
TERHADAP KLIEN CEMAS DAN DEPRESI
Zakiyah

Kecemasan dan Depresi merupakan bentuk gangguan jiwa yang paling umum terjadi. Perawatan dan pengobatan yang efektif untuk gangguan cemas dan depresi sangat diperlukan agar individu yang mengalami gangguan tersebut dapat kembali produktif dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaruh/dampak dan efektifitas CBT berbasis komputer terhadap cemas dan depresi. Metode yang digunakan adalah studi literatur dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa: (1) Cognitive Behavioral Theraphy (CBT) merupakan gabungan terapi kognitif dan terapi perilaku yang dirancang untuk merubah pola pikir negatif menjadi positif sehingga individu memiliki kemampuan untuk bereaksi secara adaptif dalam menghadapi masalah atau situasi sulit dalam setiap fase kehidupan. (2) CBT efektif dan banyak dilakukan pada pasien-pasien gangguan mental/ kecemasan, (3) CBT belum dapat diaplikasikan secara optimal karena keterbatasan biaya, akses, dan praktisi ahli, (4) CBT efektif dalam menurunkan gejala depresi dan kecemasan, dan efesien dari segi biaya.
Kecemasan dan Depresi merupakan bentuk gangguan jiwa yang paling umum terjadi. Bahkan World Health Organization (WHO) mengingatkan bahwa depresi telah menduduki peringkat ketiga beban penyakit dalam skala global sejak tahun 2004. Diperkirakan kasus depresi akan terus meningkat menjadi peringkat beban penyakit pada tahun 2030 mendatang. Data WHO menunjukkan saat ini terdapat 121 juta orang mengalami depresi, dimana 5,8% adalah pria dan 9,5% wanita di dunia yang pernah mengalami episode depresi dalam hidup mereka. Perawatan dan pengobatan yang efektif untuk gangguan cemas dan depresi sangat diperlukan. Hal ini dilakukan agar individu yang mengalami gangguan tersebut dapat kembali produktif dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Saat ini penatalaksanaan klien cemas dan depresi tidak hanya diberikan pengobatan psikofarmaka saja, namun juga dengan pendekatan psikoterapi. Salah satu psikoterapi yang yang telah banyak dilakukan dan cukup efektif dalam mengurangi dan mengontrol gejala penyakit atau gangguan adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT). CBT merupakan pengobatan nonfarmakologi yang efektif untuk hampir semua gangguan jiwa, terutama kecemasan dan depresi. Terapi ini memiliki waktu yang terbatas, mendorong keterampilan self-help, berfokus pada masalah, bersifat induktif, dan mengharuskan klien untuk mengembangkan dan mempraktekkan keterampilan dalam lingkungannya sendiri melalui pekerjaan rumah yang diberikan. Permasalahan dalam pelaksanaan CBT oleh klien adalah sebagian besar klien tidak mampu melakukan pengobatan atau proses terapi karena beberapa faktor seperti ketersediaan pengobatan, akses, biaya, dan kurangnya praktisi yang terlatih untuk melakukan CBT memberikan dampak pada kurangnya layanan kesehatan jiwa yang optimal.

Menurut Keliat (2012:20) depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, perasaan, aktivitas) seseorang yang ditandai dengan pikiran negatif pada diri sendiri, suasana hati menurun, kehilangan minat atau motivasi, pikiran lambat serta aktivitas menurun. Depresi merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasa sedih, kecewa saat mengalami suatu perubahan, kehilangan maupun kegagalan dan menjadi patologis ketika tidak mampu beradaptasi (Towsend, 2009).

Faktor penyebabnya meliputi: (1) Biologis; genetik, transmisi gangguan alam perasaan diteruskan melalui garis keturunan. Frekuensi gangguan alam perasaan meningkat pada kembar monozigot dibandingkan dizigot walaupun diasuh secara terpisah. Neurotransmiter, terjadinya penurunan katekolamin otak, peningkatan asetilkolin, dan penurunan serotonin dapat merupakan faktor penyebab depresi. Endokrin, gangguan hormone seperti hipotiroidisme atau hipertiroidisme, terapi estrogen eksogen, dan paskapartum, ada kaitannya dengan depresi.(2) Lingkungan; seperti kehilangan orang yang dicintai. Rasa bermusuhan, kemarahan, kekesewaan yang ditujukan pada suatu objek atau pada diri sendiri. sumber koping tidak adekuat. individu dengan kepribadian dependen,obsesif-kompulsif, dan histeris. Adanya masalah atau kesulitan hidup, belajar perilaku dari lingkungan yang tidak berdaya dan bergantung, pengalaman negatif masa lalu.
METODELOGI PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan efektifitas CBT berbasis komputer terhadap cemas dan depresi. Metodelogi penulisan yang digunakan adalah studi literatur dengan pendekatan deskriptif eksploratif.

KESIMPULAN

CBT merupakan terapi yang menggabungkan dua terapi, yaitu terapi kognitif dan terapi perilaku. Terapi ini dirancang untuk merubah pola pikir negatif menjadi positif sehingga perilaku maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah juga akan berubah menjadi perilaku yang adaptif. Sehingga pada akhirnya diharapkan individu memiliki kemampuan untuk bereaksi secara adaptif pada
CBT telah banyak dilakukan pada pasien-pasien gangguan mental termasuk pada pasien gangguan kecemasan dan depresi serta memberikan hasil cukup efektif. Namun, keterbatasan biaya, akses, dan praktisi yang ahli dalam pelaksanaan CBT membuat terapi CBT ini juga belum dapat diaplikasikan secara optimal pada penderita gangguan mental, khususnya gangguan kecemasan dan depresi.
Pelaksanaan CBT dengan berbasis komputer telah dikembangkan oleh Christensen, dkk, pada tahun 2001, dan mendapatkan respon yang sangat baik bagi para penderita gangguan kecemasan dan depresi. CBT efektif dalam menurunkan gejala depresi dan kecemasan, serta dari segi biaya





Jurnal

The Application of a Sensory Integration Treatment Based on Virtual Reality-Tangible Interaction for Children with Autistic Spectrum Disorder
ByKo-Eun Jung, Hyun-Jhin Lee, Young-Sik Lee, Seong-Shim Cheong, Min-Young Choi, Dong-Soo Suh, Dongsoo Suh, Shezeen Oah, Sookhee Lee, Jang-Han Lee


Anak yang mengalami gangguan spektrum autis memiliki kesulitan dalam mengintegrasi pengalaman sensorik dan motoriknya. Keabnormalitasan dalam pemrosesan sensory ini mempengaruhi semua aspek seperti fungsi adaptif, sosial, kognitif, dan fungsi akademik, dan berkorelasi dengan level yang lebih tinggi terhadap stereotipe, kaku, dan repetitif pada anak autis. Oleh karena itu sangatlah penting untuk memberikan intervensi terapeutik pada anak dengan gangguan spectrum autisme.
Sensory integration therapy (SIT) atau terapi sensory integration berlandaskan pada teori perkembangan dari Ayres, yang menekankan pada hubungan antara pengalaman sensorik dan performa perilaku dan motorik. SIT dimaksudkan agar berfokus pada pemrosesan neurologis dari informasi sensori sebagai sebuah fondasi untuk pembelajaran pada keterampilan keterampilan yang lebih tinggi (akademik atau motorik). Ada beberapa keuntungan dari SIT. Sangatlah memungkinkan bahwa terapi tidak terstruktur yang menggunakan situasi role-play dapat menyediakan pelatihan keterampilan sosial dengan mempraktikkan intimacy pada teman. Akan tetapi, sebagian besar terapis sensory integration melibatkan terapis yang mentreatment anak. Salah satu hal yang menjadi keterbatasan dalam terapi sensory integration ialah biaya dan lamanya waktu treatment. Sebagai tambahan, terdapat beberapa batasan dalam jumlah dan variasi yang dapat digunakan pada anak-anak dalam terapi pengalaman. Sehingga terapi dapat menjadi repetitif. Selain itu, SIT dapat dipersepsikan sebagai konklusi yang subjektif dan individual mengenai evaluasi hasil treatment.
Beberapa studi klinis dilaporkan telah menggunakan teknologi virtual reality (VR) pada anak autis. Anak autis melakukan sesuatu sebaik kontrol pada versi terkomputerisasi pada WCST, namun secara signifikan lebih buruk dalam mengontrol hal-hal yang standard, non komputerisasi. Pascualvaca dan koleganya menyatakan bahwa faktor sosial atau motivational dapat bertanggung jawab terhadap efek bahwa anak-anak autis lebih suka menerima timbal balik mengenai performa mereka dari komputer daripada dari penguji. Lingkungan virtual untuk pelatihan keterampilan sosial akan menjadi sangat baik dalam berkolaborasi dengan orang lain. Teknologi virtual reality adalah sebuah alat menarik yang membiarkan anak-anak autis untuk berlatih berperilaku dalam situasi role-play, sementara itu juga menyediakan lingkungan yang aman dalam peraturan pembelajaran dan tugas-tugas yang repetitif.
Meskipun begitu, beberapa kepentingan etis dan teknis menjadi penghalang penggunaan teknologi virtual reality secara mendalam. Sebagai contoh, penggunaan head-mounted displays (HMDs) dapat membuat ‘cyber sickness’ pada beberapa orang. Selain itu, karena HMDs memberikan beberapa batasan pada interaksi antara anak yang satu dengan anak yang lain, maka penggabungan dan penambahan realita lebih berguna pada interaksi kelompok dan pengalaman sensorik.
Batasan yang ada dalam metode intervensi terapeutik pada para anak autis dapat direduksi dengan terapi sensory integration berbasis Virtual Reality Tangible Interaction System (VR-TIS). VR-TIS adalah sebuah sistem yang mengkoneksikan antara manusia, lingkungan fisik, dan sebuah komputer. VR-TIS mengukur perilaku manusia secara akurat dan memberikan pemahaman terhadap perilaku mereka melalui timbal balik visual (visual feedback). Oleh karena itu, perangkat hi-tech ini dapat bermanfaat untuk mendeteksi dan mengukur respon manusia, terutama sensory integration. Selain itu, fitur berwujud (tangible features) didesain untuk membuat penghalang menjadi kurang terlihat dan lebih intuitif dengan menggabungkan lingkungan virtual sintetis dengan lingkungan fisik natural.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengembangkan program terapi sensory integration berbasis VR-TIS untuk asesmen dan treatment pada anak autis. Studi ini juga ingin membuktikan bahwa program ini merupakan suatu asesmen dan treatment yang manjur pada anak autis.
METODE PENELITIAN
  1. Partisipan
Total partisipan pada eksperimen ini berjumlah 12 anak autis dan 20 anak yang normal (sebagai kelompok kontrol), dengan usia berkisar 5-6 tahun.
  1. Instrumen
SIT, yang berbasis VR-TIS memiliki tiga komponen : pengukuran kemampuan koordinasi (coordination ability measurement) ; pelatihan keterampilan sosial (social skill training) ; dan terapi sensory integration (sensory integration therapy). Ketiga hal diatas (masing-masing merupakan hal yang fundamental) merupakan kemampuan yang kurang dimiliki oleh para anak autis. Oleh karena itu program ini diharap dapat mengukur kemampuan masing-masing anak.
VR-TIS ini terdiri dari PC Pentium IV, proyektor, sebuah screen (200 × 150 cm),reflektor inframerah, kamera digital, dan perangkat lain (seperti, tongkat, papan rotasi, trampolin). Partisipan dapat melihat hasil dari tindakan mereka pada layar saat mereka menjalankan tugas-tugas tersebut.


HASIL PENELITIAN
1)     Visuomotor Coordination Ability Assessment
Test ini menunjukkan hasil yang berarti pada anak walaupun dengan variasi yang lebih tinggi pada masing-masing sesi. Hasil ini sama dengan laporan terapis bahwa ketertarikan anak akan berkurang dengan adanya repetisi (pengulangan). Namun ada beberapa bagian dari test ini yang menunjukkan bahwa ada peningkatan hasil walaupun tidak terlalu signifikan (namun berprogres)
2)    Social Skills Training
Test inipun tidak memberikan hasil yang signifikan, namun berprogres.
3)    Sensory Integration Therapy
Test ini juga memberikan efek dan pengaruh yang baik dan meningkat walaupun tidak terlalu signifikan.

DISKUSI
Sampai saat ini, belum ada riset terhadap anak autis yang menggunakan VR-TIS. Dari riset ini dapat dilihat peluangnya. Memang sulit karena anak autis memiliki ketidakmampuan mental yang mempengaruhi kemampuan dalam berinteraksi. Studi ini mengimplikasikan bahwa program ini dapat mengklasifikasikan antara anak yang secara mental sehat dengan anak autis dan secara spesifik dapat menerapkan sistem dan terapi ini pada anak autis.
Ada dua batasan utama dalam SIT tradisional pada anak autis : jumlah tempat dan situasi yang dialami oleh terapis terbatas dan hasil repetisi dari penggunaan alat yang sama terjadi secara berulang. Meskipun begitu, program SIT berbasis VR-TIS menyediakan komposisi yang baik terhadap tempat yang bervariasi, dan tempatnya dapat diganti dengan mudah sesuai kebutuhan.