INTERNET
ADDICTION
Jurnal 1
KONTROL DIRI DAN
KECENDERUNGAN KECANDUAN
INTERNET
Herlina
Siwi Widiana, Sofia Retnowati, Rahma Hidayat
Internet yang sering digeluti dan dipuja sebagai sebuah
alat yang mampu menyediakan bebagai informasi dan hiburan serta alat canggih pembantu
kesuksesan bisnis, ternyata dapat menimbulkan bahaya kecanduan (komputek, 1999a).
Kecanduan internet menyerang masuk sekolah-sekolah, kantor-kantor bahkan
rumahrumah (Young dalam Komputek, 1999b).
Seorang pecandu internet tidak merasa
dirinya kecanduan internet bahkan tidak mau disebut pecandu internet karena
tidak menyadari bahwa perilaku onlinenya berlebihan. Pecandu internet tidak
dapat menghentikan keinginannya untuk online sehingga kehilangan kontrol dari
penggunaan internet dan kehidupanya (Young, 1996a). Seorang pecandu internet
akan menghabiskan waktu berjam-jam bahkan secara ektrem berhari-hari berada di
depan computer untuk online. Melihat realitas itu, tidaklah mengherankan bila
dalam penelitian yang dilakukan oleh Young (Young, 1996b) diperoleh hasil bahwa
kecanduan internet sebagaimana kecanduan obat-obatan, alkohol dan judi akan
mengakibatkan kegagalan akademis, menurunkan kinerja, perselisihan dalam
perkawinan bahkan perceraian.
Tanda-tanda seseorang yang mengalami
kecanduan internet adalah (Young, 1996b): (1)
perhatian
tertuju pada internet (memikirkan aktifitas online sebelumnya atau berharap
segera
online),
(2)ingin menggunakan internet dalam jumlah waktu yang semakin meningkat untuk
mendapatkan
kepuasan, (3) tidak dapat mengontrol, mengurangi, atau menghentikan penggunaan
internet, (4) merasa gelisa, murung, tertekan atau lekas marah ketika
mengurangi atau menghentikan penggunaan internet, (5) online lebih lama dari
waktu yang diharapkan, (6) mempertaruhkan atau berani mengambil resiko
kehilangan hubungan dengan signifikan (orang terdekat, orang tua), pekerjaan,
pendidikan, kesempatan berkarir karena internet, (7) berbohong terhadap anggota
keluarga, terapis atau yang lainnya untuk menyembunyikan tingkat hubungan
dengan internet, (8) menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri
dari masalah atau menghilangkan dysphoric mood (perasaan tidak berdaya,
rasa bersalah, cemas, depresi).
Suatu perilaku kadangkala menghasilkan konsekuensi
yang positif akan tetapi juga dimungkinkan
menghasilkan konsekuensi yan negatif. Oleh karena control diri selain berupa kemampuan
untuk mendapatkan konsekuensi positif juga merupakan kemampuan untuk mengatasi
konsekuensi negative. Rodin (dalam sarafino, 1990) mengungkapkan control diri
adlah perasaan bahwa seseorang dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan
yang efektif
untuk
menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak
diinginkan. Pengunaan internet yang mempunyai kontrol diri ytang tinggi akan
mampu memadu, mengarahkan dan mengatur perilaku online. Setiap individu
yang mempunyai kontrol diri yang tinggi mampu menginterprestasi stimulus yang
dihadapi, mempertimbangkan konsekuensinya sehingga mampu memilih tindakan dan
melakukannya dengan meminimalkan akibat yang tidak diinginkan. Selain itu
individu tersebut mampu mengatur penggunaan internet sehingga tidak tenggelam
dalam internet, mampu menggunakan internet sesuai dengan kebutuhan, mampu memadukan
aktivitas online dengan aktivitasaktivitas lain dalam kehidupannya dan
tidak memerlukan internet sebagai tempat untuk melarikan diri dari masalah.
SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian adalah 70 orang mahasiswa
Jurusan Teknik Elektro UGM dengan kriteria sebagai berikut : berusia 18 sampai
dengan 24 tahun, mahasiswa semester III ke atas, dan berjenis kelamin
laki-laki.
METODE PENELITIAN
Data penelitian diperoleh dengan
menggunakan metode dokumentasi dan metode skala. Metode dokumentasi digunakan
untuk mengungkapkan identitas subjek (usia, jenis kelamin, angkatan), lama
menggunakan internet rata-rata penggunaan internet per minggu, lama tiapkali online,
aplikasi yang sering digunakan, alasan pengunaan aplikasi tersebut, keuntungan
dari penggunaan internet. Metode skala digunakan untk mengungkap kecenderungan
kacanduan internet dan kontrol diri. Analisa data dilakukan dengan menggunakan
teknik korelasi product moment dari pearson untuk menguji hubungan antara
control diri dengan kecenderungan kecanduan internet. Sebelum melakukan
analisis tersebut terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas
dan uji linearitas. Keseluruhan komputasi data dilakukan dengan program SPSS Release
6.0.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan
yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi negatif
yang signifikan antara control diri dengan kecenderungan kecanduan internet
sehingga dapat dikatakan semakin tinggi control diri maka semakin rendah
kecendrungan kecanduan intenet dan sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka
semakin tinggi kecenderungan kecanduan internet.
Jurnal 2
Ketagihan
Penggunaan Internet Di Kalangan Remaja Sekolah Tingkatan 4 Di Bandaraya Johor
Bahru
Johari Hassan & Raja Shahrina Raja Abdul Rashid
Penggunaan Internet semakin meluas
sehinggakan ada beberapa pihak yang mengalami ketagihan yang agak membimbangkan
terutama remaja sekolah. Oleh itu, kajian ini adalah untuk mengenalpasti tahap
dan punca ketagihan penggunaan Internet dikalangan remaja sekolah tingkatan 4
di bandaraya Johor Bahru. Kajian ini juga ingin mengenalpasti tujuan sebenar
dan jenis penggunaan Internet yang kerap diakses oleh remaja sekolah. Kesan
penggunaan Internet yang berlebihan turut juga dikenalpasti. Satu set soal
selidik yang terdiri daripada tiga bahagian digunakan sebagai instrumen kajian.
Kaedah pensampelan rawak digunakan dengan melibatkan 265 orang pelajar dari 3
buah sekolah terpilih. Data kajian dipersembahkan dalam bentuk deskriptif
seperti frekuensi, skor min dan peratusan dengan menggunakan perisian
Statistical Package For Social Science (SPSS Versi 15.0). Di samping itu,
beberapa ujian statistik seperti ujian-t, korelasi Pearson, dan tabulasi silang
digunakan untuk mengenalpasti perbezaan dan hubungan beberapa angkubah. Secara
keseluruhannya, tahap ketagihan penggunaan Internet bagi pelajar adalah rendah.
Terdapat perbezaan signifikan tahap ketagihan penggunaan Internet antara lelaki
dan perempuan, begitu juga dengan jenis sekolah mengikut jantina. Terdapat juga
korelasi positif antara tahap sosioekonomi ibu bapa dengan tahap ketagihan
penggunaan Internet di kalangan pelajar. Laman web yang kerap diakses oleh pelajar
adalah laman web rangkaian sosial.
Tujuan menggunakan
internet
Dengan wujud kemudahan Internet,
kanan-kanak dan remaja memperoleh banyak faedah untuk menimba ilmu di samping
berkomunikasi sesama mereka di laman web sosial atau di ruang sembang. Dalam
aspek pelajaran, separuh daripada bilangan pelajar (53.2%) menggunakan Internet
untuk memahirkan diri dalam penggunaan komputer. Dibandingkan dengan kajian
Rafidah (2010), hanya 37.5 peratus yang bersetuju bahawa mereka menggunakan
Internet dengan bertujuan untuk memahirkan diri dalam komputer. Justeru,
penyelidik berpendapatan, pengaruh Internet yang semakin canggih, memberikan
motivasi kepada ramai pengguna termasuk pelajar untuk belajar menggunakan
komputer. Internet mampu mendorong pelajar untuk belajar kendiri disamping
mahir dalam penggunaan komputer. Dapatan kajian ini menyokong kajian Ahmad
Johari dan Norbaizura (2010), yang mendapati penguasaan terhadap penggunaan
Internet secara tidak langsung akan memahirkan seseorang itu dalam menggunakan e-pembelajaran
kerana ianya mempunyai hubungkait antara satu sama lain.
Secara keseluruhannya, penggunaan
Internet di kalangan pelajar dalam aspek pelajaran dan sosial adalah berada
pada tahap sederhana. Majoriti pelajar menggunakan Internet untuk melepaskan
tekanan dan mereka juga menggunakan Internet untuk mendapatkan hiburan
disamping rajin memuat turun sesuatu. Pelajar memang memerlukan dunia hiburan
untuk menenangkan fikiran tetapi ia mesti dikurangkan bagi mengelakkan pelajar
terpengaruh dengan kehidupan artis-artis terutama artis-artis barat.
ANALISIS DATA
Bahagian ini adalah untuk mengukur tahap
ketagihan penggunaan Internet di kalangan pelajar. Ujian ketagihan penggunaan
Internet diukur dengan menggunakan soalan dari “Internet Addiction Test” yang
mengandungi 20 item yang reka oleh Dr. Kimberly Young tetapi telah diubahsuai
dalam Bahasa Melayu. Ujian ini dianalisis secara manual menggunakan pengiraan
mata terkumpul bagi setiap responden. Justeru, kajian mendapati bilangan
responden yang mempunyai tahap ketagihan yang tinggi seramai 20 orang (7.5%)
iaitu 17 orang merupakan pelajar lelaki dan 3 orang pelajar perempuan (Jadual
4.10 dan Jadual 4.11). Manakala bilangan responden yang berada pada tahap
ketagihan sederhana adalah seramai 79 orang (29.8%) iaitu 38 orang pelajar
lelaki dan 41 orang adalah pelajar perempuan. Majoriti responden berada pada
tahap ketagihan yang sedikit iaitu seramai 121 orang (45.7%) dimana 54 orang
merupakan pelajar lelaki dan 67 orang merupakan pelajar perempuan. Selebihnya
iaitu seramai 45 orang (17.0%) tidak mengalami sebarang ketagihan penggunaan
Internet.
KESIMPULAN
Hasil dapatan ini selari dengan ujian-t
yang dijalankan dalam bab 4 bahawa terdapat perbezaan yang signifikan tahap
ketagihan penggunaan Internet antara pelajar lelaki dan perempuan. Selain itu,
kajian ini juga mendapati terdapat perbezaan yang signifikan tahap ketagihan
penggunaan Internet antara sekolah lelaki dan sekolah perempuan. Pada pendapat
penyelidik, persekitaran sekolah mempengaruhi tingkah laku pelajar.
Persekitaran sekolah lelaki tentu berbeza dengan persekitaran sekolah
perempuan. Secara keseluruhannya, lelaki lebih ramai mengalami tahap ketagihan
yang tinggi berbanding perempuan. Dapatan kajian ini adalah menyokong dengan
dapatan yang dijalankan oleh Mohd Effendi (2010), bahawa pelajar lelaki
mempunyai tahap ketagihan Facebook lebih tinggi berbanding pelajar perempuan.
Jurnal
3
HUBUNGAN ANTARA SELF CONTROL DENGAN
INTERNET ADDICTION PADA MAHASISWA
Sari Dewi Yuhana Ningtyas
Internet addiction merupakan fenomena
yang mencemaskan dan menarik perhatian Internet telah membuat remaja kecanduan,
karena menawarkan berbagai informasi, permainan, dan hiburan. Hal ini ditandai
rasa senang dengan internet, durasi penggunaan internet terus meningkat,
menjadi cemas dan bosan ketika harus melalui beberapa hari tanpa internet.
Pecandu internet tidak dapat menghentikan keinginan untuk online sehingga
kehilangan kontrol dari penggunaan internet dan kehidupannya Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat self control dan internet addiction pada
mahasiswa FIP semester 5 UNNES serta hubungan antara self control dengan
internet addiction pada mahasiswa FIP semester 5 UNNES.
Internet merupakan salah satu media yang
sekarang ini banyak digemari oleh remaja. Internet menjadi suatu kegemaran
tersendiri bagi remaja dalam mencari informasi terbaru dan menjalin hubungan
dengan orang lain di beda tempat. Di zaman yang modern ini, penggunaan internet
sangatlah diperlukan.
Perkembangan pengguna internet dari tahun
ke tahun sangatlah tinggi. Sekarang lebihdari jutaan manusia di seluruh
Indonesia telah menggunakan internet. Namun ada beberapa orang yang saat ini
terkena salah satu dampak negatif dari penggunaannya. Tidak sedikit orang yang
sangat bergantung pada internet sehingga individu kecanduan. Kecanduan internet
bagi pelajar dapat diketahui melalui kegiatannya yang setiap hari setelah
pulang sekolah atau malam hari banyak dijumpai remaja di depan komputer untuk
melakukan internet. Internet telah membuat remaja kecanduan, karena di internet
menawarkan berbagai fasilitas informasi, mainan, dan hiburan yang membuat remaja
tidak ingin meninggalkan internet. Tanda-tanda remaja yang kecanduan internet, antara
lain remaja merasa senang dengan internet, durasi penggunaan internet terus meningkat,
menjadi cemas dan bosan ketika harus melalui beberapa hari tanpa internet.
Internet addiction adalah pemakaian internet
secara berlebihan yang ditandai dengan gejala-gejala klinis kecanduan, seperti
keasyikan dengan objek candu, pemakaian yang lebih sering terhadap objek candu,
tidak memperdulikan dampak fisik maupun psikologis pemakaian dan sebagainya.
Internet Addiction sebagaimana kecanduan obat-obatan, alcohol dan judi akan
mengakibatkan kegagalan akademis, menurunkan kinerja, perselisihan dalam perkawinan
bahkan perceraian. (Young, 1996b:20)
Pengguna internet yang mempunyai self
control yang tinggi akan mampu memandu, mengarahkan dan mengatur perilaku
online. Setiap individu yang mempunyai kontrol diri yang tinggi dapat mampu
mengatur penggunaan internet sehingga tidak tenggelam dalam internet, mampu
menggunakan internet sesuai dengan kebutuhan, mampu memadukan aktivitas online
dengan aktivitas-aktivitas lain dalam kehidupannya (Herlina Siwi, 2004, 9).
Penelitian Herlina (2004) mengenai
hubungan kontrol diri dengan kecenderungan kecanduan internet di Jogjakarta
menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara kontrol diri dengan
kecenderungan kecanduan internet. Kategori kontrol diri tergolong tinggi,
sedangkan kategori kecanduan internet tergolong sedang. Hal ini dapat dipahami
karena sebagian besar subjek penelitian menggunakan internet lebih dari satu
tahun dengan lama online 4 sampai 5 jam per minggu. Selain itu internet
masih merupakan alat komunikasi baru yang belum menjadi gaya hidup di
Indonesia, khususnya di Jogjakarta. Internet sudah mulai banyak digunakan
tetapi belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, salah satunya karena
faktor biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh jasa internet.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES Semester 5 tahun 2010/2011 sejumlah
639 mahasiswa. Subjek penelitian ditetapkan untuk diambil 10% secara random
sebagai sampel dari populasi yang berjumlah 639 mahasiswa yaitu 65 mahasiswa
dengan menggunakan teknik proportional sampling.
Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan skala self control dengan aitem yang dibuat adalah 50 item dari
aspek behavioral control, cognitive control, decisional control. Skala kedua
yaitu skala internet addiction yang dibuat adalah 51 aitem dari aspek
compulsive use, loss of control, continued use despite adverse consequences.
Alternatif jawaban yang tersedia ada empat, yaitu Sesuai (SS), Sesuai (S),
Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
analisis data serta uraian-uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
simpulan bahwa self control terhadap internet addiction pada
mahasiswa Fakulatas Ilmu Pendidikan berada pada kategori rendah, hal ini
berarti mahasiswa kurang mampu mengontrol perilaku dalam bermain internet yang
berlebihan (waktu yang tidak terkontrol), kurang mampu dalam mengambil
keputusan atau suatu tindakan yang cukup baik terhadap internet.
Internet addiction mahasiswa
FIP tergolong tinggi, hal ini berarti mahasiswa FIP mengalami kecanduan dalam
berinternet, yang ditandai dengan mahasiswa selalu tertuju pada internet,
kurang dapat dalam mengontrol penggunaan interenet, dan dalam penggunaan
internet digunakan untuk melarikan diri dari masalah.
Uji hipotesis antara self control dengan
internet addiction diterima. Hal tersebut dapat diartikan bahwa ada
hubungan negatif yang signifikan antara self control dengan internet
addiction pada mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan semester 5 Universitas
Negeri Semarang tahun 2010/2011.
Sumber : http://journal.unnes.ac.idsjuindex
Jurnal
4
The Relationship Between Depression and Internet
Addiction
Kimberly S.
Young and Robert C. Rodgers
Studi sebelumnya telah
mengidentifikasi adanya penggunaan internet adiktif, yang telah dikaitkan
dengan gangguan sosial, psikologis, dan okupasi yang signifikan. Dalam studi
ini para pecandu digunakan sebagai sampel. Penggunaan Internet rata-rata dengan
durasi 38 jam per minggu untuk tujuan non akademis atau non-kerja lah yang
menyebabkan efek merugikan seperti performa di antara siswa memburuk,
perselisihan antara pasangan, dan kinerja kerja yang berkurang di antara
karyawan. Hal ini dibandingkan dengan non-pecandu yang menggunakan internet
rata-rata 8 jam per minggu tanpa konsekuensi yang signifikan dilaporkan. Terutama,
kapabilitas interaktif internet seperti chat room atau game on-line terlihat
menjadi yang paling adiktif. Jenis kegagalan dalam mengontrol impuls perilaku,
yang tidak melibatkan suatu hal memabukkan, dipandang sebagai hal yang sangat
mirip dengan pathological gambling. Oleh
karena itu, istilah formal yang digunakan dalam studi ini adalah Internet
Pathological Use (PIU) yang merujuk pada kasus adiktif Penggunaan internet.
Studi di bidang addiction telah
menunjukkan bahwa penyakit kejiwaan seperti depresi seringkali terkait dengan
alcoholism dan kecanduan obat-obatan. Penelitian yang lebih lanjut, telah menunjukkan bahwa
perilaku adiktif lainnya saling tumpang tindih dengan depresi, misalnya, eating
disorder dan pathological gambling. Meskipun konsep mengenai kecanduan internet
(internet addiction) telah memperoleh kredibilitas di antara ahli kesehatan
mental baik di dalam akademik maupun klinis, riset sederhana telah dilakukan
untuk menguji apakah jenis penyakit psikiatrik serupa dapat memberikan kontribusi
seperti Internet abuse.
Oleh karena itu, tujuan
dari studi ini adalah untuk menilai depresi dan membandingkan hasil tersebut
dengan hasil lain dari populasi diagnostik rangkap. Young menggunakan Zung
Depression Inventory (ZDI), yang menunjukkan bahwa peningkatan tingkat depresi
berhubungan dengan tingkat PIU dari moderat sampai ke tingkat parah. Namun, ZDI
menghasilkan utilitas klinis yang terbatas, oleh karena itu, penelitian ini
menggunakan Beck Depression inventory (BDI) karena merupakan instrumen yang
lebih psikometrik dan klinis dan berguna untuk menyelidiki lebih lanjut efek
dari depresi terhadap PIU.
METODE
PENELITIAN
Subjek yang dipilih merupakan
subjek yang aktif menggunakan internet dan sering mengakses web yang popular,
seperti Yahoo. Material diberikan ke survei on-line yang terdapat pada World
Wide Web (WWW) halaman (terletak di http:/ / http://www.pitt edu /. Ksy /
survey.html) dan diimplementasikan pada UNIX-based Server yang menangkap
jawaban ke dalam sebuah file teks. Survei on-line mengadministrasikan kuesioner
diagnostik terstruktur yang dimodifikasi oleh DSM-IV dengan kriteria
pathological gambling untuk mengklasifikasikan subyek sebagai kecanduan atau
non-kecanduan, dan diikuti oleh administrasi BDI, SixteeN Personality Factor
Inventory, dan Zuckerman’s Sensation Seeking Scale,. Terakhir, informasi
demografis juga dikumpulkan.
HASIL
PENELITIAN
Dari Total 312 survei yang
dikumpulkan, survey tersebut menghasilkan 259 profil yang valid dari pengguna
yang mengalami kecanduan. Sampel tersebut meliputi 130 laki-laki dengan usia
rata-rata 31 dan 129 perempuan dengan usia rata-rata 33. Latar belakang
pendidikan mereka adalah sebagai
berikut: 30% memiliki tingkat sekolah tinggi atau kurang, 38% memiliki asosiasi
atau gelar sarjana, 10% memiliki gelar master atau doktor, dan 22% masih sekolah.
15% tidak memiliki latar belakang kejuruan (misalnya, ibu rumah tangga atau
pensiun), 31% adalah pelajar, 6% adalah
pekerja berkerah biru dan 22% adalah pekerja berkerah putih non-tech (misalnya,
guru sekolah atau pegawai bank), dan 26% adalahpekerja berkerah putih hi-tech
(misalnya, ilmuwan komputer atau analis sistem).
Jenis pekerjaan tampaknya menjadi
penentu dalam tingkat penggunaan internet dalam studi ini. Hasil ini
menunjukkan bahwa pekerja kerah putih non-tech
atau hi-tech lebih cenderung menjadi pecandu internet daripada pekerja
berkerah biru. Pekerjaan para pekerja berkerah putih dapat menawarkan akses
yang lebih luas ke Internet dan potensi gaji yang lebih besar, yang membuat
pembelian komputer untuk kepentingan di rumah lebih terjangkau dibandingkan di
jenis pekerjaan pada pekerja kerah biru.
DISKUSI
Studi ini menunjukkan bahwa
peningkatan tingkat depresi berhubungan dengan orang-orang yang menjadi
kecanduan internet. Hal ini menunjukkan bahwa depresi klinis secara signifikan
berhubungan dengan peningkatan tingkat penggunaan internet secara pribadi.
Studi ini menunjukkan bahwa penilaian yang akurat dari depresi dan PIU dapat
meningkatkan deteksi dini, terutama ketika seseorang mengalaminya dengan gejala
utama dari diagnosis lainnya. Ada kemungkinan bahwa harga diri yang rendah,
motivasi yang kurang, ketakutan untuk ditolak, dan kebutuhan untuk mendapatkan
penerimaan terkait dengan depressives memberikan kontribusi terhadap penggunaan
internet mengalami peningkatan, karena studi menunjukkan bahwa kapabilitas
interaktif yang tersedia di Internet merupakan yang paling adiktif. Kiesler et
al. menemukan bahwa komunikasi melalui komputer melemahkan pengaruh sosial oleh
adanya perilaku nonverbal seperti berbicara di set head, berbicara dengan keras,
menatap, menyentuh, dan menunjuk. Oleh karena itu, hilangnya ekspresi wajah,
infleksi suara, dan kontak mata membuat komunikasi elektronik menjadi ancaman,
sehingga membantu orang yang mengalami depresi untuk mengatasi kecanggungan dan
intimidasi dalam awal pertemuan dan berbicara dengan orang lain.
Berdasarkan temuan yang didapatkan,
hasil ini, tidak jelas menunjukkan apakah depresi yang mendahului perkembangan
penyalahgunaan internet atau apakah itu merupakan konsekuensi. Ada kemungkinan
bahwa peningkatan tingkat isolasi sosial setelah waktu yang berlebihan
dihabiskan di depan komputer dapat mengakibatkan depresi meningkat ketimbang
menjadi penyebab berlebihan Internet tersebut. Oleh karena itu, eksperimen
lebih lanjut dengan tingkat analisis yang lebih komprehensif diperlukan untuk
memeriksa sebab dan akibatnya. Pengumpulan data juga harus mencakup pasien
dalam pengobatan untuk menghilangkan keterbatasan metodologi survei on-line dan
meningkatkan utilitas klinis dari informasi yang dikumpulkan. Akhirnya,
meskipun tidak jelas bagaimana PIU dibandingkan dengan kecanduan lainnya,
penelitian yang akan datang harus menyelidiki apakah depresi klinis merupakan
faktor etiologi dalam pengembangan setiap sindrom adiktif, baik itu alkohol,
perjudian, atau Internet
PSIKOTERAPI VIA INTERNET
Jurnal
PENGARUH DAN EFEKTIFITAS
COGNITIVE
BEHAVIORAL THERAPY (CBT)
BERBASIS KOMPUTER
TERHADAP KLIEN CEMAS DAN
DEPRESI
Zakiyah
Kecemasan dan
Depresi merupakan bentuk gangguan jiwa yang paling umum terjadi. Perawatan dan
pengobatan yang efektif untuk gangguan cemas dan depresi sangat diperlukan agar
individu yang mengalami gangguan tersebut dapat kembali produktif dalam memenuhi
kebutuhan hidup, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat melakukan
aktivitas sehari-hari. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui
pengaruh/dampak dan efektifitas CBT berbasis komputer terhadap cemas dan
depresi. Metode yang digunakan adalah studi literatur dengan pendekatan
deskriptif eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa: (1) Cognitive Behavioral
Theraphy (CBT) merupakan gabungan terapi kognitif dan terapi perilaku yang
dirancang untuk merubah pola pikir negatif menjadi positif sehingga individu
memiliki kemampuan untuk bereaksi secara adaptif dalam menghadapi masalah atau
situasi sulit dalam setiap fase kehidupan. (2) CBT efektif dan banyak dilakukan
pada pasien-pasien gangguan mental/ kecemasan, (3) CBT belum dapat
diaplikasikan secara optimal karena keterbatasan biaya, akses, dan praktisi
ahli, (4) CBT efektif dalam menurunkan gejala depresi dan kecemasan, dan efesien
dari segi biaya.
Kecemasan dan
Depresi merupakan bentuk gangguan jiwa yang paling umum terjadi. Bahkan World
Health Organization (WHO) mengingatkan bahwa depresi telah menduduki
peringkat ketiga beban penyakit dalam skala global sejak tahun 2004. Diperkirakan
kasus depresi akan terus meningkat menjadi peringkat beban penyakit pada tahun
2030 mendatang. Data WHO menunjukkan saat ini terdapat 121 juta orang mengalami
depresi, dimana 5,8% adalah pria dan 9,5% wanita di dunia yang pernah mengalami
episode depresi dalam hidup mereka. Perawatan dan pengobatan yang efektif untuk
gangguan cemas dan depresi sangat diperlukan. Hal ini dilakukan agar individu
yang mengalami gangguan tersebut dapat kembali produktif dalam memenuhi
kebutuhan hidup, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat melakukan aktivitas
sehari-hari.
Saat ini
penatalaksanaan klien cemas dan depresi tidak hanya diberikan pengobatan
psikofarmaka saja, namun juga dengan pendekatan psikoterapi. Salah satu psikoterapi
yang yang telah banyak dilakukan dan cukup efektif dalam mengurangi dan
mengontrol gejala penyakit atau gangguan adalah Cognitive Behavioral Therapy
(CBT). CBT merupakan pengobatan nonfarmakologi yang efektif untuk
hampir semua gangguan jiwa, terutama kecemasan dan depresi. Terapi ini memiliki
waktu yang terbatas, mendorong keterampilan self-help, berfokus pada
masalah, bersifat induktif, dan mengharuskan klien untuk mengembangkan dan
mempraktekkan keterampilan dalam lingkungannya sendiri melalui pekerjaan rumah yang
diberikan. Permasalahan dalam pelaksanaan CBT oleh klien adalah sebagian
besar klien tidak mampu melakukan pengobatan atau proses terapi karena beberapa
faktor seperti ketersediaan pengobatan, akses, biaya, dan kurangnya praktisi
yang terlatih untuk melakukan CBT memberikan dampak pada kurangnya
layanan kesehatan jiwa yang optimal.
Menurut Keliat (2012:20) depresi adalah gangguan mood,
kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir,
perasaan, aktivitas) seseorang yang ditandai dengan pikiran negatif pada diri sendiri,
suasana hati menurun, kehilangan minat atau motivasi, pikiran lambat serta
aktivitas menurun. Depresi merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasa
sedih, kecewa saat mengalami suatu perubahan, kehilangan maupun kegagalan dan
menjadi patologis ketika tidak mampu beradaptasi (Towsend, 2009).
Faktor penyebabnya meliputi: (1) Biologis;
genetik, transmisi gangguan alam perasaan diteruskan melalui garis keturunan.
Frekuensi gangguan alam perasaan meningkat pada kembar monozigot dibandingkan
dizigot walaupun diasuh secara terpisah. Neurotransmiter, terjadinya penurunan
katekolamin otak, peningkatan asetilkolin, dan penurunan serotonin dapat
merupakan faktor penyebab depresi. Endokrin, gangguan hormone seperti
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, terapi estrogen eksogen, dan paskapartum,
ada kaitannya dengan depresi.(2) Lingkungan; seperti kehilangan orang
yang dicintai. Rasa bermusuhan, kemarahan, kekesewaan yang ditujukan pada suatu
objek atau pada diri sendiri. sumber koping tidak adekuat. individu dengan
kepribadian dependen,obsesif-kompulsif, dan histeris. Adanya masalah atau kesulitan
hidup, belajar perilaku dari lingkungan yang tidak berdaya dan bergantung,
pengalaman negatif masa lalu.
METODELOGI PENELITIAN
Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan efektifitas CBT berbasis
komputer terhadap cemas dan depresi. Metodelogi penulisan yang digunakan adalah
studi literatur dengan pendekatan deskriptif eksploratif.
KESIMPULAN
CBT merupakan
terapi yang menggabungkan dua terapi, yaitu terapi kognitif dan terapi
perilaku. Terapi ini dirancang untuk merubah pola pikir negatif menjadi positif
sehingga perilaku maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah juga akan
berubah menjadi perilaku yang adaptif. Sehingga pada akhirnya diharapkan
individu memiliki kemampuan untuk bereaksi secara adaptif pada
CBT telah banyak dilakukan pada pasien-pasien gangguan
mental termasuk pada pasien gangguan kecemasan dan depresi serta memberikan
hasil cukup efektif. Namun, keterbatasan biaya, akses, dan praktisi yang ahli
dalam pelaksanaan CBT membuat terapi CBT ini juga belum dapat
diaplikasikan secara optimal pada penderita gangguan mental, khususnya gangguan
kecemasan dan depresi.
Pelaksanaan CBT dengan
berbasis komputer telah dikembangkan oleh Christensen, dkk, pada tahun 2001, dan
mendapatkan respon yang sangat baik bagi para penderita gangguan kecemasan dan
depresi. CBT efektif dalam menurunkan gejala depresi dan kecemasan,
serta dari segi biaya
Jurnal
The Application of a Sensory Integration Treatment Based on Virtual
Reality-Tangible Interaction for Children with Autistic Spectrum Disorder
ByKo-Eun Jung, Hyun-Jhin Lee, Young-Sik Lee, Seong-Shim Cheong,
Min-Young Choi, Dong-Soo Suh, Dongsoo Suh, Shezeen Oah, Sookhee
Lee, Jang-Han Lee
Anak yang mengalami gangguan spektrum autis memiliki kesulitan dalam
mengintegrasi pengalaman sensorik dan motoriknya. Keabnormalitasan dalam
pemrosesan sensory ini mempengaruhi semua aspek seperti fungsi adaptif, sosial,
kognitif, dan fungsi akademik, dan berkorelasi dengan level yang lebih tinggi
terhadap stereotipe, kaku, dan repetitif pada anak autis. Oleh karena itu
sangatlah penting untuk memberikan intervensi terapeutik pada anak dengan
gangguan spectrum autisme.
Sensory integration therapy (SIT) atau
terapi sensory integration berlandaskan pada teori perkembangan dari
Ayres, yang menekankan pada hubungan antara pengalaman sensorik dan performa
perilaku dan motorik. SIT dimaksudkan agar berfokus pada pemrosesan neurologis
dari informasi sensori sebagai sebuah fondasi untuk pembelajaran pada
keterampilan keterampilan yang lebih tinggi (akademik atau motorik). Ada
beberapa keuntungan dari SIT. Sangatlah memungkinkan bahwa terapi tidak
terstruktur yang menggunakan situasi role-play dapat menyediakan
pelatihan keterampilan sosial dengan mempraktikkan intimacy pada teman.
Akan tetapi, sebagian besar terapis sensory integration melibatkan
terapis yang mentreatment anak. Salah satu hal yang menjadi keterbatasan
dalam terapi sensory integration ialah biaya dan lamanya waktu treatment.
Sebagai tambahan, terdapat beberapa batasan dalam jumlah dan variasi yang dapat
digunakan pada anak-anak dalam terapi pengalaman. Sehingga terapi dapat menjadi
repetitif. Selain itu, SIT dapat dipersepsikan sebagai konklusi yang subjektif
dan individual mengenai evaluasi hasil treatment.
Beberapa studi klinis dilaporkan telah menggunakan teknologi virtual
reality (VR) pada anak autis. Anak autis melakukan sesuatu sebaik kontrol
pada versi terkomputerisasi pada WCST, namun secara signifikan lebih buruk
dalam mengontrol hal-hal yang standard, non komputerisasi. Pascualvaca dan
koleganya menyatakan bahwa faktor sosial atau motivational dapat bertanggung
jawab terhadap efek bahwa anak-anak autis lebih suka menerima timbal balik
mengenai performa mereka dari komputer daripada dari penguji. Lingkungan
virtual untuk pelatihan keterampilan sosial akan menjadi sangat baik dalam
berkolaborasi dengan orang lain. Teknologi virtual reality adalah sebuah
alat menarik yang membiarkan anak-anak autis untuk berlatih berperilaku dalam
situasi role-play, sementara itu juga menyediakan lingkungan yang aman
dalam peraturan pembelajaran dan tugas-tugas yang repetitif.
Meskipun begitu, beberapa kepentingan etis dan teknis menjadi penghalang
penggunaan teknologi virtual reality secara mendalam. Sebagai contoh,
penggunaan head-mounted displays (HMDs) dapat membuat ‘cyber
sickness’ pada beberapa orang. Selain itu, karena HMDs memberikan beberapa
batasan pada interaksi antara anak yang satu dengan anak yang lain, maka
penggabungan dan penambahan realita lebih berguna pada interaksi kelompok dan
pengalaman sensorik.
Batasan yang ada dalam metode intervensi terapeutik pada para anak autis
dapat direduksi dengan terapi sensory integration berbasis Virtual
Reality ― Tangible Interaction System (VR-TIS). VR-TIS adalah sebuah
sistem yang mengkoneksikan antara manusia, lingkungan fisik, dan sebuah
komputer. VR-TIS mengukur perilaku manusia secara akurat dan memberikan pemahaman
terhadap perilaku mereka melalui timbal balik visual (visual feedback).
Oleh karena itu, perangkat hi-tech ini dapat bermanfaat untuk mendeteksi
dan mengukur respon manusia, terutama sensory integration. Selain itu,
fitur berwujud (tangible features) didesain untuk membuat penghalang
menjadi kurang terlihat dan lebih intuitif dengan menggabungkan lingkungan
virtual sintetis dengan lingkungan fisik natural.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengembangkan program terapi sensory
integration berbasis VR-TIS untuk asesmen dan treatment pada anak
autis. Studi ini juga ingin membuktikan bahwa program ini merupakan suatu
asesmen dan treatment yang manjur pada anak autis.
METODE
PENELITIAN
- Partisipan
Total
partisipan pada eksperimen ini berjumlah 12 anak autis dan 20 anak yang normal
(sebagai kelompok kontrol), dengan usia berkisar 5-6 tahun.
- Instrumen
SIT, yang
berbasis VR-TIS memiliki tiga komponen : pengukuran kemampuan koordinasi (coordination
ability measurement) ; pelatihan keterampilan sosial (social skill
training) ; dan terapi sensory integration (sensory integration
therapy). Ketiga hal diatas (masing-masing merupakan hal yang fundamental)
merupakan kemampuan yang kurang dimiliki oleh para anak autis. Oleh karena itu
program ini diharap dapat mengukur kemampuan masing-masing anak.
VR-TIS ini
terdiri dari PC Pentium IV, proyektor, sebuah screen (200 × 150
cm),reflektor inframerah, kamera digital, dan perangkat lain (seperti, tongkat,
papan rotasi, trampolin). Partisipan dapat melihat hasil dari tindakan mereka
pada layar saat mereka menjalankan tugas-tugas tersebut.
HASIL
PENELITIAN
1)
Visuomotor Coordination Ability Assessment
Test ini menunjukkan hasil yang berarti pada anak walaupun dengan variasi
yang lebih tinggi pada masing-masing sesi. Hasil ini sama dengan laporan
terapis bahwa ketertarikan anak akan berkurang dengan adanya repetisi
(pengulangan). Namun ada beberapa bagian dari test ini yang menunjukkan bahwa
ada peningkatan hasil walaupun tidak terlalu signifikan (namun berprogres)
2)
Social Skills Training
Test inipun tidak memberikan hasil yang signifikan, namun berprogres.
3)
Sensory Integration Therapy
Test ini juga memberikan efek dan pengaruh yang baik dan meningkat walaupun
tidak terlalu signifikan.
DISKUSI
Sampai saat ini, belum ada riset terhadap anak autis yang menggunakan
VR-TIS. Dari riset ini dapat dilihat peluangnya. Memang sulit karena anak autis
memiliki ketidakmampuan mental yang mempengaruhi kemampuan dalam berinteraksi.
Studi ini mengimplikasikan bahwa program ini dapat mengklasifikasikan antara
anak yang secara mental sehat dengan anak autis dan secara spesifik dapat menerapkan
sistem dan terapi ini pada anak autis.
Ada dua batasan utama dalam SIT tradisional pada anak autis : jumlah tempat
dan situasi yang dialami oleh terapis terbatas dan hasil repetisi dari
penggunaan alat yang sama terjadi secara berulang. Meskipun begitu, program SIT
berbasis VR-TIS menyediakan komposisi yang baik terhadap tempat yang
bervariasi, dan tempatnya dapat diganti dengan mudah sesuai kebutuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar